top of page

Kisah Kelam di Balik Gemerlap Oriental Circus Indonesia, Korban Eksploitasi Ungkap Kekerasan Hingga Hilangnya Identitas


KALTENG NETWORK, PALANGKA RAYA – Sejumlah mantan pemain sirkus dari Oriental Circus Indonesia (OCI) mengungkapkan pengalaman pahit mereka saat melakukan audiensi dengan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Mugiyanto, pada Selasa (15/4). Dalam pertemuan tersebut, mereka mengaku pernah mengalami kekerasan fisik, eksploitasi, serta tekanan psikologis selama bekerja di OCI.


Ida, salah satu mantan pemain yang kini menggunakan kursi roda, menceritakan dirinya terjatuh dari ketinggian saat pertunjukan di Lampung. Meski mengalami cedera parah, ia tidak langsung dibawa ke rumah sakit. Setelah pinggangnya membengkak, barulah ia mendapat perawatan dan diketahui mengalami patah tulang.


Ida kemudian dipindahkan ke Jakarta untuk menjalani operasi dan dipertemukan kembali dengan orang tuanya. Sementara itu, Butet, korban lainnya, mengungkap bahwa dirinya sering menerima kekerasan, bahkan ketika sedang hamil.


Ia mengaku pernah dipukul karena tampil buruk saat pertunjukan, dirantai, hingga dipaksa tampil saat sedang hamil. Setelah melahirkan, ia dipisahkan dari bayinya dan pernah dipaksa memakan kotoran gajah hanya karena mengambil daging. Ia juga menyatakan tidak mengetahui identitas aslinya, termasuk nama dan keluarganya.


Fifi, pemain lain mengungkap bahwa ia telah tinggal di lingkungan sirkus sejak bayi dan baru mengetahui bahwa dirinya adalah anak dari Butet. Ia menceritakan bagaimana dirinya mengalami penyiksaan seperti dikurung diseret, dibawa ke rumah, lalu disetrum. Bagian sensitif tubuh saya disetrum sampai tubuh saya lemas. Rambut saya dijambak, saya tak kuasa menahan kencing, lalu saya dipasung.


Menanggapi pengakuan ini, Wakil Menteri HAM Mugiyanto menyatakan akan memanggil pihak manajemen Taman Safari Indonesia yang disebut dalam laporan tersebut. Pemanggilan ini dilakukan untuk mencari keterangan tambahan dan mencegah kejadian serupa terulang. Ia juga menegaskan pentingnya kepatuhan terhadap norma hak asasi manusia (HAM).


Meskipun sebagian besar kejadian terjadi pada 1970-an dan 1980-an, sebelum UU HAM diberlakukan, Mugiyanto menilai tindakan pidana masih dapat dijerat hukum menggunakan KUHP yang telah ada sejak awal kemerdekaan Indonesia.


Sementara itu, pengacara para korban, Muhammad Soleh, menyebut bahwa kliennya, Fifi, sempat melapor ke Mabes Polri pada 1997 atas dugaan penghilangan asal-usul. Namun, kasusnya dihentikan karena dinilai kurang bukti. Dari 16 korban yang didampingi, hanya lima yang berhasil menemukan orang tua mereka, sedangkan sisanya masih belum mengetahui identitas keluarganya.


Pihak Taman Safari Indonesia telah merespons laporan ini dengan menyatakan bahwa permasalahan tersebut melibatkan individu dan bukan lembaga.


Mereka membantah memiliki hubungan bisnis atau hukum dengan para mantan pemain sirkus tersebut, serta menegaskan bahwa mereka menjalankan bisnis dengan prinsip tata kelola yang baik, kepatuhan hukum, dan etika usaha.


Mereka juga mengimbau masyarakat agar tidak mengaitkan kasus ini dengan nama Taman Safari Indonesia secara institusional dan mengajak publik untuk menyikapi informasi secara bijak. -red


Foto: Kompas

Comments


bottom of page