21 hours ago1 min read



KALTENGNETWORK, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah secara resmi menyetujui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi Undang-Undang pada hari Selasa, 18 November 2025.
Namun, pengesahan ini masih menimbulkan perdebatan di masyarakat, khususnya terkait beberapa pasal yang berkaitan dengan kewenangan penyelidikan.
Penolakan terhadap RKUHAP sudah terasa di media sosial bahkan sebelum aturan yang berasal dari era kolonial ini disahkan. Banyak warganet mengunggah poster-poster yang berkaitan dengan pasal-pasal yang dipermasalahkan.
Ketua DPR, Puan Maharani, menyatakan bahwa laporan hasil pembahasan KUHAP yang disampaikan oleh Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, sudah cukup komprehensif.
Pimpinan DPR berharap masyarakat yang masih menolak proses pembuatan undang-undang ini tidak mempercayai berita bohong yang beredar mengenai isi KUHAP yang baru disahkan.
"Penjelasan dari Ketua Komisi III menurut saya sudah sangat mudah dipahami, jadi berita-berita palsu yang beredar itu tidak benar, dan semoga kita dapat saling memahami kesalahpahaman ini," ujar Puan pada Selasa, 18 November 2025.
Lebih lanjut, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menegaskan bahwa poster yang beredar di media sosial tentang RKUHAP adalah informasi palsu.
Poster tersebut menuduh bahwa jika RKUHAP disahkan, kepolisian dapat melakukan penyadapan, penyitaan, hingga penangkapan tanpa surat perintah dari hakim. Habiburokhman menjelaskan bahwa seluruh isi poster tersebut tidak benar.
"Ada beberapa poster di media sosial yang isinya tidak benar. Dikatakan bahwa jika RKUHAP disahkan, polisi dapat melakukan (tindakan tertentu) kepada Anda tanpa izin hakim. Ini sama sekali tidak benar," kata Habiburokhman pada Selasa, 18 November 2025.
Terkait klaim bahwa polisi dapat menyadap dan mengakses komunikasi tanpa izin, Habiburokhman menjelaskan bahwa KUHAP yang baru justru memperketat mekanismenya.
Ia menyebutkan Pasal 135 ayat (2) dalam UU KUHAP yang baru menyatakan bahwa penyadapan akan diatur dalam undang-undang terpisah yang akan dibahas setelah pengesahan RKUHAP.
“Semua fraksi sepakat bahwa penyadapan harus diatur dengan cermat dan memerlukan izin pengadilan. Jadi undang-undangnya belum ada, namun sikap politik terkait penyadapan sudah disepakati,” tambahnya.
Selain itu, poster hoaks tersebut juga menyebutkan bahwa polisi dapat membekukan rekening dan jejak digital secara sepihak, yang menurut Habiburokhman adalah narasi yang keliru.
Menurutnya, Pasal 139 ayat (2) RKUHAP dengan tegas menyatakan bahwa segala bentuk pemblokiran, baik rekening maupun data online, harus melalui persetujuan hakim.Tudingan bahwa penyidik dapat mengambil ponsel atau laptop tanpa izin hakim juga dibantah oleh Komisi III.
Habiburokhman menjelaskan bahwa setiap penyitaan harus mendapatkan izin dari Ketua Pengadilan Negeri, termasuk penyitaan ponsel, laptop, dan perangkat lainnya.
Habiburokhman juga membantah klaim bahwa KUHAP baru memungkinkan penangkapan tanpa adanya dugaan tindak pidana.
Ia menegaskan bahwa penangkapan hanya boleh dilakukan setelah seseorang ditetapkan sebagai tersangka secara resmi, yang memerlukan minimal dua bukti yang sah. Selain itu, syarat untuk melakukan penahanan juga lebih jelas dan objektif dibandingkan KUHAP lama yang sering digunakan pada masa Orde Baru.
Dalam KUHAP yang baru, penahanan hanya dapat dilakukan jika tersangka mengabaikan panggilan dua kali, memberikan keterangan palsu, menghalangi proses penyelidikan, mencoba melarikan diri, mengulangi tindak pidana, menghilangkan bukti, atau jika keselamatan tersangka terancam.
“Selain itu, penahanan juga dapat dilakukan jika tersangka mencoba mempengaruhi saksi untuk memberikan kesaksian palsu, yang juga merupakan bentuk penghalangan proses hukum,” jelas politisi dari Fraksi Partai Gerindra ini.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menyoroti rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang tengah dipercepat pengesahannya oleh pemerintah dan DPR.
Mereka menilai rancangan tersebut justru berpotensi memperbesar kekuasaan dan keleluasaan kepolisian, bahkan menjadikannya lembaga yang sangat dominan, sementara pengawasan terhadap lembaga ini justru semakin lemah. Hal ini terjadi setelah pembentukan komite yang seharusnya memperbaiki kinerja kepolisian secara menyeluruh.
Menurut koalisi, akar permasalahan dari tidak profesionalnya pelayanan kepolisian, akuntabilitas yang rendah, dan terhentinya reformasi kepolisian terletak pada pengaturan kewenangan dan pengawasan yang tidak memadai dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
Rancangan KUHAP yang baru dikhawatirkan akan memperparah penyalahgunaan wewenang, penegakan hukum yang buruk, dan impunitas kepolisian, karena memperluas kendali dan diskresi polisi.
Koalisi menyatakan bahwa pengesahan KUHAP baru justru akan menggagalkan upaya reformasi kepolisian yang selama ini diharapkan.
Penyesuaian hukum acara pidana dengan perkembangan hukum nasional dan internasional.
Penyesuaian nilai hukum acara pidana sesuai KUHP baru yang menekankan pendekatan restoratif, rehabilitatif, dan restitutif.
Penegasan prinsip diferensiasi fungsional antara penyidik, penuntut umum, hakim, advokat, dan pemimpin masyarakat.
Perbaikan kewenangan penyelidik, penyidik, dan penuntut umum serta penguatan koordinasi antarlembaga.
Penguatan hak tersangka, terdakwa, korban, dan saksi, termasuk perlindungan dari ancaman dan kekerasan.
Penguatan peran advokat sebagai bagian integral sistem peradilan pidana.
Pengaturan mekanisme keadilan restoratif.
Perlindungan khusus kelompok rentan seperti disabilitas, perempuan, anak, dan lansia.
Penguatan perlindungan penyandang disabilitas dalam seluruh tahap pemeriksaan.
Perbaikan pengaturan upaya paksa dengan memperkuat asas due process of law.
Pengenalan mekanisme hukum baru seperti pengakuan bersalah dan penundaan penuntutan korporasi.
Pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi.
Pengaturan hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi korban atau pihak yang dirugikan.
Modernisasi hukum acara pidana untuk mewujudkan peradilan cepat, sederhana, transparan, dan akuntabel. -red








Comments